Polemik Impor Beras Indonesia
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara yang
mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan
keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran
penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen
beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia
terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India
sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang
secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4%
dan 3,9%.
Dalam konteks pertanian umum, Indonesia
memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi
Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi
pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara
penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi
persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras
Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya,
akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan
lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah penduduk yang
sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa,
makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras
menjadi sangat besar.
Permasalahan
1. Mengapa
Indonesia masih mengimpor beras dari luar negri sedangkan Indonesia termasuk
salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai
8,5%?
2. Apa
solusi untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia?
Pembahasan
Penduduk Indonesia merupakan pemakan
beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan
dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg,
dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak
terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya
dari negara lain.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor
komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50%
kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi
melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor
bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan
sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan
dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang
tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan
sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang
semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan
kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil
produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang
ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan
tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh
suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan
penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya
adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa
konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari
tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta
Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang
sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7
juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa
diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan
ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Ketergantungan impor bahan baku pangan
juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen
dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China,
dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang
kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka
industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor di atas yang mendorong
dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar
negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak
hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh
pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia
tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi
dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung
oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa.
Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya
tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan
privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai
oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat
Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi
konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga
berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli
(kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan
dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent
IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan
bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi
menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi
terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market
access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998,
2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus
berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi
lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni
Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri
barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini
jelas membunuh petani kita.
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat
dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti
contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air,
Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya
privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal
ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan
koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor
pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini,
Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren
komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi –
konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai
2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya
(beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun
2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang
sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras,
kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Perlukah Impor?
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka
mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen
bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya.
Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian
Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas
panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan
mata.
Selanjutnya, data konsumsi beras juga
diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang
underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139
kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data
BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi
beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate,
karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras
nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini
juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi
dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya
mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit
terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal
relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi.
Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak
petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.
Mengapa Tidak Impor?
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk
membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan
importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat
ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen
masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II
yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini
diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta
ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan
terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan
produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan
data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi,
yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada
beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk
didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di
tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif
yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani,
serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi
dan terserap oleh bulog.
Pemecahan
Masalah
Untuk mengurangi dampak ketergantungan
kita akan bahan pangan impor dan menciptakan ketahanan pangan, diperlukan
beberapa usaha di antaranya yaitu:
1. Mematok
harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh
tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan
ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan
keuntungan petani dan kemampuan konsumen.
2. Memberikan
insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung,
singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai
jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
3. Mengatur
kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi
harus dengan intervensi yang kuat dari Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Keuangan.
4. Mengoptimalkan
penelitian dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap anomali
iklim dan berumur sedang. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga
penelitian, studi perguruan tinggi, maupun kerjasama bilateral.
5. Menambah
produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera
meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk
pertanian pangan.
6. Menyediakan
insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian
beli.
7. Memperlancar
arus distribusi hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga dapat
tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ke
tangan rakyat.
8. Memberikan
dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani,
koperasi, dan ormas tani.
9. Menciptakan
diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras dan
ekonomis terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada
ketersediaan beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan menggali potensi
tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat.
10. Untuk
menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih cermat dan akurat perlu didukung
dengan ketersediaan data iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu dapat
di-update secara otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang.
Selain itu, Balitklimat telah dan sedang menyusun kalender tanam yang
diharapkan dapat membantu Dinas Pertanian, petani dan pelaku agribisnis serta
pengguna lainnya dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan khususnya dan
tanaman-tanaman semusim lainnya.
Kesimpulan
Dalam masalah ini, adanya proses impor
beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di Indonesia mengalami
surplus memang banyak menimbilkan tanda tanya. Seharusnya, pemerintah dalam hal
ini khususnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus
memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat
mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga
kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari
petani agar mereka tidak dirugikan.
Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat
menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus
diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat
mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara komprehensif dari hulu ke
hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor.
Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor
beras dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya
disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi beras yang
masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada akhirnya, tugas bagi
berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masing-masing. BPS
diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi,
diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang diambil
tidak merugikan petani lokal yang kesejahteraannya masih rendah tanpa
mengorbankan ketahanan pangan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar