Tidak ada rasanya janji – janji kampanye politik yang tidak menyertakan
janji manis perbaikan nasib petani. Tidak ada rasanya program – program
pemerintah yang tidak menyertakan berbagai formula peningkatan peranan Petani sebagai pengusaha komoditi.
Dengan demikian, setiap tahun nya di ciptakan berbagai program dengan
anggaran – anggaran besar baik langsung oleh pemerintah pusat maupun
program – program pemerintah daerah.
Program – program untuk petani mejadi pengusaha komoditi agar
meningkatkan produksi komoditi pertanian di desain dengan canggihnya
dalam bentuk program penelitian, diseminasi informasi, pelatihan,
kemitraan, bimbingan, pendampingan dan berbagai program lainnya yang
rasanya kalau semua program tersebut dijalankan sesuai dengan target dan
tujuannya, niscaya tidak perlu lama menunggu, akan ada perubahan yang
signifikan, petani sebagai pengusaha komoditi, bukan petani sebagai
komoditi segelintir pengusaha seperti yang selama ini terjadi.
Tapi hingga hari ini, fakta berbicara lain. Pemberdayaan petani semakin
membuat petani tidak berdaya dan kekal termarjinal disaat pengusaha –
pengusaha komoditi pertanian yang tidak pernah tahu bagaimana menanam
bawang, padi, cabe, kakao, kelapa justru meraup banyak keuntungan dari
komoditi pertanian yang memang unggul dan berlimpah dari dulu. Alih –
alih petani meningkat menjadi pengusaha komoditi, petani tetap tak
berdaya menjadi komoditi pengusaha.
Kebijakan dan strategi pembangunan makro mungkin menjadi salah satu
penyebab utama mengapa kondisi petani tidak banyak berubah. Lembaga
pemberdayaan ekonomi paling dekat dengan petani seperti koperasi menjadi
cerminan lemahnya pemberdayaan petani saat ini. Koperasi di Indonesia,
dimanapun berada, sebagaian besar dalam kondisi mati segan hidup tak
mau. Hanya sedikit sekali, koperasi yang memperlihatkan peningkatan
prestasi dari tahun ke tahun, itupun kalau dibandingkan dengan gerakan
pengusaha yang mengambil keuntungan besar dari komoditi pertanian,
koperasi – koperasi berprestasi hanya berperan sebagai penggembira saja.
Kondisi petani dan koperasi yang demikian, bukan salah petani dan
koperasi. Petani sebagai anggota koperasi tentu mengharapkan lembaga
koperasi mampu berperanan sebagai mitra utama dalam peningkatan
pengetahuan, alih teknologi, diseminasi informasi, pelatihan dan yang
paling penting adalah kepastian pasar bagi hasil produksi pasca panen
komoditi pertanian para petani. Lalu koperasi mengharapkan siapa?
Mengharapkan para tengkulak untuk berbaik hati membeli hasil pertanian
dengan harga ideal? Apalagi mengharapkan pengusaha mau membina para
petani untuk menjadi pengusaha pengusaha komoditi pertanian yang baru?
Fakta ini yang selalu luput dari perhatian pemerintah dan stakeholder
pembangunan pertanian di Indonesia. Semua program yang dicanangkan,
secanggih apapun sifatnya hanya seremonial dan jargon sakti, tetapi
tidak sakti ketika menghadapi realita pasar. Realita pasar yang
sesungguhnya diciptakan sendiri oleh kebijakan pemerintah dalam ekonomi
makro. Indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari kemampuan
untuk menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan. Keadaaan yang
demikian antara lain terlihat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan yang cenderung memanjakan usaha besar, yang secara
langsung maupun tidak langsung telah mendorong terjadinya krisis ekonomi
serta kemiskinan dan kesenjangan.
Padahal krisis moneter 20 tahun lalu sudah membuktikan yang mampu bertahan adalah para petani dan UMKM yang memang sudah terbiasa hidup susah. Sedangkan pengusaha besar yang aslinya hanya calo - calo komoditi berdasi, tumbang tidak karuan menghadapi krisis, hutang bejibun, bank - bank bangkrut dan ramai - ramai para oportunis merapat ke politik kekuasaan untuk mengambil celah keuntungan.
Keprihatinan makin bertambah ketika pemerintah dan stakeholder terkait seperti Bank Indonesia gagal paham dengan visi, misi nya sendiri. Kantor – kantor pemerintah dan lembaga terkait yang harusnya berperanan besar bagi nasib petani, berdiri megah bernilai ratusan milyar dengan amanah pengelolaan anggaran trilyunan rupiah hanya mampu membuat program “apa adanya”. Bilangan petani yang ratusan juta orang hanya diwakilkan oleh ratusan petani “terpilih” untuk di bina dan hasil binaan tersebut entah sukses atau tidak, menjadi laporan “megah” yang dibangga – banggakan dalam Annual Report kegiatan pemberdayan petani, koperasi dan UMKM.
Otoritas besar pemerintah untuk menciptakan tata kelola pasar komoditi, mengatur alokasi keunggulan pertanian, mengatur kebijakan impor komoditi pertanian, mengembangkan potensi komoditi yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat sehingga dapat mengendalikan inflasi, bahkan menciptakan industri pertanian berbasis peningkatan SDM pertanian sebagai dasar dari tujuan peningkatan petani menjadi pengusaha komoditi pertanian seharusnya sangat mungkin untuk dilakukan. Termasuk meninjau kembali produk - produk kebijakan yang kurang berhasil seperti sistem resi gudang dan KUR untuk petani.
Padahal krisis moneter 20 tahun lalu sudah membuktikan yang mampu bertahan adalah para petani dan UMKM yang memang sudah terbiasa hidup susah. Sedangkan pengusaha besar yang aslinya hanya calo - calo komoditi berdasi, tumbang tidak karuan menghadapi krisis, hutang bejibun, bank - bank bangkrut dan ramai - ramai para oportunis merapat ke politik kekuasaan untuk mengambil celah keuntungan.
Keprihatinan makin bertambah ketika pemerintah dan stakeholder terkait seperti Bank Indonesia gagal paham dengan visi, misi nya sendiri. Kantor – kantor pemerintah dan lembaga terkait yang harusnya berperanan besar bagi nasib petani, berdiri megah bernilai ratusan milyar dengan amanah pengelolaan anggaran trilyunan rupiah hanya mampu membuat program “apa adanya”. Bilangan petani yang ratusan juta orang hanya diwakilkan oleh ratusan petani “terpilih” untuk di bina dan hasil binaan tersebut entah sukses atau tidak, menjadi laporan “megah” yang dibangga – banggakan dalam Annual Report kegiatan pemberdayan petani, koperasi dan UMKM.
Otoritas besar pemerintah untuk menciptakan tata kelola pasar komoditi, mengatur alokasi keunggulan pertanian, mengatur kebijakan impor komoditi pertanian, mengembangkan potensi komoditi yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat sehingga dapat mengendalikan inflasi, bahkan menciptakan industri pertanian berbasis peningkatan SDM pertanian sebagai dasar dari tujuan peningkatan petani menjadi pengusaha komoditi pertanian seharusnya sangat mungkin untuk dilakukan. Termasuk meninjau kembali produk - produk kebijakan yang kurang berhasil seperti sistem resi gudang dan KUR untuk petani.
Seharusnya KPK melihat ini sebagai bagian dari ruang lingkup
pemberantasan di ranah korupsi. Bukannya menuduh anggarannya di korupsi,
tetapi kenapa bisa, amanah trilyunan rupiah hilang begitu saja dan
hanya berwujud laporan kegiatan super sederhana, dengan jargon kecap
number one! Contoh: Pemerintah dan lembaga pemerintah paling suka
membuat seminar, pelatihan untuk para petani dan UMKM ini di hotel –
hotel berbintang. Menghabiskan anggaran besar hanya untuk membina
puluhan petani pilihan. Materi yang dilatih juga sekenanya. Petani
diajarkan membuat buku kas, petani diajarkan internet, petani diajarkan
cara pinjam uang ke Bank, tetapi petani tidak dikasih uang untuk isi
buku kas, tidak difasilitasi komputer untuk main internet dan tidak
diberikan bantuan pinjaman lunak dengan standar bankable ala petani.
Lucu kan?
Jika kegiatan tersebut sudah dianggap sebagai prestasi kerja, kapan
majunya petani kita? Jika itu saja sudah dianggap kerja berat, bagaimana
mau menghadapi persaingan global seperti saat ini? Jika program
demikian sudah dianggap cukup, bagaimana bisa bangsa ini melangkah cepat
menjadi pemain penting ekonomi global? Petani mau pinjam uang 100 juta
saja, susahnya setengah mati, tetapi pengusaha mau minta konsesi
pengelolaan lahan untuk bisnis komoditi pertanian, gampang sekali. Jadi
kapan Petani sebagai Pengusaha Komoditi atau selama-lamanya petani
menjadi Komoditi Pengusaha?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar