Orang bijak
sering berujar, tirulah ilmu padi. Kian berisi, kian merunduk. Maksud
dari pesan bijak itu adalah jika kita memiliki ilmu janganlah sombong,
tetapi sebaliknya hendaklah semakin bijaksana. Semakin banyak
pengetahuan dan ilmu yang kita miliki hendaknya semakin arif dan bijak
pula kita. Demikianlah pesan tadi yang mengandung makna filsafat yang
mendalam.
Mengapa pesan tersebut dikatakan mengandung nilai filsafat? Kata
filsafat sendiri berarti cinta terhadap kebijaksanaan ataupun cinta akan
kearifan. Menurut Bakhtiar (2011) kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani philosophy, yang terdiri dari dua kata: philos dan sophos. Philos
berarti cinta dan sophos berarti hikmah atau bijaksana. Dengan
demikian, secara harfiah filsafat bermakna cinta bijaksana. Namun,
secara lebih luas, filsafat didefinisikan sebagai berpikir secara
menyeluruh, mendalam, logis, sistematis, tapi juga spekulatif mengenai
hakikat segala sesuatu untuk mencari kebenaran.
Bila diresapi dengan mendalam, maka betapa filsafat mengandung nilai
yang sangat luhur dan sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya filsafat sudah banyak berperan dalam kehidupan manusia sejak
berabad-abad lalu. Dulu orang percaya pada dewa-dewa penyebab bencana,
seperti dewa banjir, dewa gempa, dan dewa-dewa lainnya yang sangat
menakutkan. Setelah belajar filsafat kemudian orang tidak takut lagi
pada dewa-dewa tersebut, karena sesungguhnya fenomena alam tidak terkait
sama sekali dengan dewa. Namun, kini filsafat dirasakan lebih
dibutuhkan lagi daripada di masa lalu. Saat ini kebutuhan manusia lebih
banyak dan lebih beragam, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia
memerlukan lebih banyak ilmu dan pengetahuan dibanding dahulu kala.
Terkait dengan perannya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Suriasumantri (1999) menyatakan bahwa filsafat adalah pionir dan
peneretas pengetahuan. Meminjam pendapat Will Durant, beliau menyatakan
bahwa filsafat dapat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah
sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafatlah yang memenangkan
tempat berpijak bagi kegiatan ilmuwan. Sebab setelah itu, ilmulah yang
membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini
menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Selain itu, beliau juga
mengatakan bahwa filsafat juga berperan sebagai pengawal ilmu dan
pengetahuan.
Tanpa dikawal filsafat, selain berguna, ilmu dapat juga menyebabkan
bencana dan membawa malapetaka bagi manusia. Banyak contoh sudah
terjadi. Bom atom yang dikembangkan atas dasar ilmu telah menjadi
monster pembunuh pada perang dunia II. Reaktor nuklir juga tidak sedikit
menelan korban. Akhir-akhir ini ada upaya untuk mengkloning manusia,
yang bila tidak dikawal oleh pikiran jernih dari kearifan filsafat juga
akan membawa bencana bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Bakhtiar (2011) menyatakan bahwa ilmu tanpa pengawalan filsafat dapat
membawa ilmu tersebut kepada tujuan yang tidak bermanfaat bagi manusia,
bahkan bencana.
Bagaimana filsafat mengawal ilmu? tentunya dengan filsafat ilmu. Menurut
Bakhtiar (2011) filsafat ilmu adalah kajian secara mendalam tentang
dasar-dasar ilmu. Dasar-dasar ilmu yang dimaksud terdiri dari 1) objek
yang ditelaah, 2) metode mendapatkannya, dan 3 tujuannya. Ketiga objek
ilmu tersebut dikaji dengan proses berpikir yang mendalam dan
sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran. Ilmu dan bagian-bagiannya
barulah dapat dikatakan benar bila memenuhi tolok ukur kebenaran. Dalam
filsafat, ada tiga tolok ukur kebenaran yang bisa dipakai. Pertama,
sesuatu itu dapat dikatakan benar bila subjek dan objeknya
berkorespondensi (selaras). Kedua, sesuatu itu benar, bila sesuatu itu
konsisten (sesuai) dengan yang sebelumnya yang dianggap benar. Ketiga,
sesuatu itu benar, bila sesuatu itu bermanfaat bagi manusia.
Secara filsafat, tiga tolok ukur kebenaran ini secara bersama atau
sendiri-sendiri dapat digunakan sebagai acuan untuk mencari kebenaran.
Tulisan ini mencoba melihat kebenaran pada praktek agronomi penanaman
padi oleh para petani. Kebenaran, sebagaimana dijelaskan di atas, bisa
dilihat dari tolok ukur kebenaran secara langsung, tetapi juga dapat
didekati secara tak langsung dari posisi yang berlawanan, yaitu
ketidakbenaran. Dengan kata lain, kita dapat mencari kebenaran dengan
melihat sesuatu dari sisi ketidakbenarannya. Oleh karena itu,
selanjutnya, ketidakbenaran anggapan dan prilaku akan sering dipakai
dalam sajian tentang filsafat bertanam padi nantinya. Pertama sekali,
marilah kita lihat terlebih dahulu apa itu padi.
Padi adalah tanaman yang termasuk dalam jenis rumput-rumputan. Akarnya
termasuk akar serabut. Batangnya berbuku-buku dan di dalamnya kosong
seperti pipet yang digunakan untuk pertukaran gas. Daunnya seperti pita.
Bunga jantan dan betina ada dalam satu bunga yang terletak pada malai,
yang kemudian menjadi gabah. Ada banyak varietas padi yang ditanam oleh
para petani. Ada banyak ragam teknik agronomi yang dipakai serta ada
banyak juga ragam pandangan dan anggapan menyangkut dengan padi. Sesuai
judul di atas mari kita lihat tanaman ini dari sisi pandang filsafat
bertanam padi.
Filsafat bertanam padi yang dimaksud di sini adalah filsafat yang
berkenaan dengan cara bercocok tanam padi. Karena filsafat mengandung
arti bijak, maka secara sederhana, filsafat bertanam padi adalah
penerapan cara bertanam padi secara bijak atau arif; Atau dengan sedikit
pengertian filsafat yang lebih luas, adalah bertaman padi secara benar
dan bermanfaat. Pertanyaannya apakah sekarang ini para petani kita telah
bijak dalam bertanam padinya. Jawabannya bisa beragam, bisa bijak,
tidak bijak, belum bijak, atau sudah tidak bijak lagi.
Kalau jawabannya yang terakhir kita ambil maka itu bermakna dulu pernah
bijak, tetapi sekarang tidak bijak lagi. Kalau jawabannya belum bijak,
maka itu artinya mereka belum tahu bagaimana yang bijak sehingga ada
harapan mereka akan jadi bijak manakala mereka sudah diberi tahu
bagaimana yang bijak. Yang manapun jawabannya, kita perlu memberi tahu
kepada para petani bagaimana seharusnya bertanam padi yang bijak, yang
secara filosofi adalah juga benar.
Sesungguhnya petani padi memiliki banyak sekali pengetahuan tentang
tanaman padi dan sawahnya. Pengetahuan tersebut diperolehnya dari
berbagai sumber. Ada dari penyuluh, orang tua atau kerabatnya, baik
secara turun temurun ataupun in situ di tempat dia bertanam. Menurut
Suriasumantri (1999) dan Bakhtiar (2011) sumber pengetahuan dapat
berasal dari rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Sebagian pengetahuan
yang mereka miliki adalah benar dan berguna bagi pertumbuhan dan
produksi pertanamannya, namun sering juga tidak rasional, bahkan ada
juga yang keliru sehingga merugikan pertanaman dan dirinya sendiri.
Penulis mencoba mengangkat beberapa anggapan dan prilaku petani padi
yang keliru. Secara filsafat, praktek ini dapat dikatakan tidak benar
dan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi petani, bahkan cenderung
merugikan. Ada selusinan atau bahkan lebih kekeliruan yang terus
dipraktekkan para petani di tanah sawahnya.
Kesalahan pertama adalah anggapan bahwa varietas padi baru tidak bagus
dan tidak cocok. Akibatnya, para petani enggan menanam varietas padi
baru. Anggapan ini penulis dengar sendiri ketika bertugas di Nias, tahun
2006 setelah kejadian gempa dan tsunami 2004. Ketika itu, penulis
bersama petugas lainnya, berusaha memperkenalkan varietas Ciherang,
karena dari kajian ditemukan bahwa varietas ini sangat menjanjikan.
Kemudian memang terbukti bahwa varietas ini dominan ditanam di Indonesia
dan memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas
sebelumnya (BBPTP, 2005).
Bertolak belakang dengan pendapat di atas, banyak juga petani kita
berpandangan bahwa varietas lama (varietas asli daerah) tidak perlu
dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya. Pandangan ini memang
jarang disampaikan dalam bentuk lisan, tetapi indikasinya bisa ditangkap
dari kenyataan di lapangan. Sekarang ini, hampir tidak ada lagi petani
padi yang menanam varietas asli daerah, kecuali sedikit sekali. Di
tempat kelahiran penulis, Kuala Simpang, Aceh Tamiang, varietas asli
sudah sangat sulit ditemukan, kalau tidak mau mengatakan sudah punah.
Masih teringat, dulu ada yang namanya varietas Si Raup, Si Kuning, Si
Kruing, dan Si Pahit. Lalu, apa gunanya varietas ini dilestarikan?
Jawabannya adalah sebagai sumber plasma nutfah atau sebagai sumber
keragaman genetik untuk keperluan pemuliaan tanaman, khususnya padi.
Sebagai contoh pada pemuliaan padi tahan kekeringan, Blum (2011)
menyarankan bahwa di antara sumber plasma nutfah yang tersedia, agar
plasma nutfah dari tanaman budidaya dijadikan pilihan pertama sebagai
sumber genetik. Karena menurut beliau, di dalam plasma nutfah tanaman
budidaya, terkandung beragam gen laten yang berguna untuk program
pemuliaan tanaman, termasuk tahan kekeringan. Dari segi pemuliaan,
penggunaan sumber gen yang berkerabat dekat lebih memungkinkan untuk
berhasil dibanding bila menggunakan sumber yang sangat asing.
Dari segi agronomi, pandangan keliru lainnya adalah banyak tanaman,
banyak hasil. Ini mungkin mirip dengan pandang “banyak anak, banyak
rezeki”. Implikasi buruk dari pandangan ini adalah petani menanam padi
dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah lagi sangat banyak
tanaman dalam satu lubang tanam. Sebagai ilustrasi, ada petani yang
menanam padi dengan jarak 10 cm x 10 cm dan dalam satu lubang tanam
berisi 6 tanaman. Bila dihitung, maka satu hektar sawah berisi 6 juta
batang padi, yang juga berasal dari 6 juta butir benih padi. Jumlah ini
sebanding dengan 150 kg benih padi dengan asumsi 1000 butir padi sama
dengan 25 g. Padahal, secara agronomi, padi dapat ditanam dengan jarak
25 cm x 25 cm (Thakur, 2010) atau serapat-rapatnya 20 cm x 20 cm dan
dalam satu lubang cukup satu tanaman saja, sebagaimana pada metode SRI
(Thakur et al. 2010). Dengan cara ini, maka satu hektar hanya berisi 160
ribu atau 250 ribu batang saja, yang bila dikonversi ke biji menjadi
setara 4,0 kg atau 6,25 kg benih saja. Coba lihat betapa tidak
efisiennya petani kita yang menabur benih padi sebanyak 150 kg dari yang
seharusnya cukup 4 – 6,25 kg saja untuk satu hektar sawah. Ini baru
dilihat dari kebutuhan benih, belum lagi dari segi tenaga kerja dan
waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis
sama sekali.
Anggapan lain yang sama buruknya adalah semakin banyak air yang
diberikan, semakin banyak hasil padi. Akibatnya, pemakaian air sangat
boros per satuan luas sawah, berikutnya jumlah sawah yang dapat diairi
menjadi lebih sempit dari yang seharusnya. Padahal, sebenarnya padi
bukanlah murni tanaman air, karena kenyataannya padi memang dapat juga
hidup dan berproduksi tinggi pada lahan darat. Dengan demikian, air
bukanlah faktor mutlak melainkan sebagai faktor pendukung. Selain itu,
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan tanah sawah tempat padi di
tanam lebih baik bila tidak digenangi terus menerus (Hanafiah et al.,
2009). Dengan demikian, sebenarnya padi tidak memerlukan terlalu banyak
air seperti yang disangkakan dan justru akan lebih produktif bila air
diberikan secara macak dan terputus-putus. Menurut Prisilla et al.
(2012), pemberian air irigasi dengan debit yang berubah-ubah sangat
penting bukan saja untuk perbaikan sistem irigasi, tetapi juga untuk
melindungi sumber air bagi masa depan.
Pemikiran buruk lainnya adalah banyak pupuk, banyak hasil. Pemeo ini
sebenarnya tidak produktif dan bahkan sangat merusak lingkungan. Petani
kita kadang-kadang sudah keterlaluan dalam menggunakan pupuk, terutama
pupuk anorganik. Penulis sendiri pernah menyaksikan sendiri bagaimana
mereka memberikan pupuk pada lahan sawahnya, karena tempat tinggal
penulis berkebetulan dekat dengan persawahan. Barangkali petani tidak
pernah menghitung pemakaian pupuknya, tetapi bila kita hitung, bisa jadi
pupuk yang digunakan bisa mencapai dua kali lipat dari yang dianjurkan.
Bisa jadi pula dosis anjuran pun sudah terlalu banyak, karena belum ada
kajian yang mendalam sebenarnya berapa dosis yang aman untuk
produktivitas padi sekaligus kesehatan tanah sawah untuk mendukung
perpadian dan persawahan yang berkelanjutan. Menurut Cummings dan Orr
(2010) kendatipun aplikasi pupuk N anorganik telah memberikan keuntungan
yang nyata pada produksi pangan dan ketahanan pangan dunia dalam jangka
pendek, namun ada keprihatinan yang meluas terhadap keberlanjutan
penggunaan teknologi ini untuk jangka panjang agar dapat terus memberi
makan seluruh populasi dunia yang terus meningkat. Penggunaan pupuk N
anorganik secara terus menerus akan menyebabkan perusakan tanah
pertanian, antara lain sebagai akibat dari hilangnya bahan organik,
pemadatan tanah, peningkatan salinitas, dan pencucian nitrat anorganik.
Bahan organik tidak berfaedah adalah kesalahan lain. Sumber bahan
organik tidak dimanfaatkan. Jerami padi tidak dikembalikan ke sawah,
melainkan diangkut bersama malai yang dipanen, bahkan sebagiannya lagi
dibakar. Barangkali ada kemalasan ikut terlibat di sini. Pernah suatu
ketika, penulis berdialog dengan seorang petani padi tentang pemanfaatan
jerami sebagai sumber pupuk organik untuk pertanaman padinya.
Pertanyaan penulis adalah mengapa petani selalu membakar jerami setelah
panen berakhir. Jawabannya cukup sederhana, karena jerami-jerami itu
mengganggu jalannya traktor mesin pengolah lahan nantinya. Sebagai
catatan, petani memang selalu menumpuk jerami padi di pematang atau di
tengah sawah. Tumpukan itulah yang dimaksud mengganggu tadi dan dengan
membakarnya tumpukan tersebut langsung hilang dalam semalam. Padahal
dengan sedikit rajin, penyerakan jerami ke permukaan lahan sawah dapat
juga segera menghilangkan tumpukan yang mengganggu tadi, tanpa harus
membakarnya. Membakar jerami sama artinya menghilangkan sumber bahan
organik dan yang tersisa hanya abu dengan sedikit bahan mineral.
Menyerakkan jerami sama artinya dengan memberikan sumber bahan organik
ke dalam tanah, yang sangat berarti bagi kesuburan dan kesehatan tanah,
berikut tanaman yang tumbuh di atasnya. Lalu, apa gunanya bahan organik
pada tanah?. Funderbug (2001) menyatakan bahwa bahan organik berguna
sebagai suplai unsur hara, kapasitas menahan air, agregasi struktrur
tanah, dan pencegah erosi. Lebih jauh lagi, sebenarnya bahan organik
dalam tanah bisa berfungsi seperti magis, mediator, atau penyangga dari
kondisi ekstrem di dalam tanah. Menurut CSIRO (2011) bahan organik
merupakan indikator kunci akan kesehatan tanah dan memainkan peran
penting pada sejumlah fungsi, seperti biologi, kimia, dan fisik.
Lain jerami, lain lagi pupuk kandang. Bagi sebagian petani padi, pupuk
kandang menjadi pantang diberikan pada sawah. Ada anggapan, pupuk
kandang yang berupa kotoran ternak merupakan sumber penyakit bagi
tanaman padinya. Kesalahan persepsi ini bisa jadi disebabkan oleh salah
tindak pada pupuk ini. Waktu pemberian yang tidak tepat mungkin saja
penyebab utamanya atau ada pengalaman buruk lain bersama dengan
penggunaan pupuk ini. Akibatnya jarang sekali petani padi memupuk
tanamannya dengan pupuk kandang. Sebenarnya, pupuk kandang sangat baik
diberikan kepada tanaman padi dan kebaikannya sama seperti pada tanaman
lainnya. Pupuk kandang banyak mengandung bahan organik, mikroorganisme,
dan juga bahan anorganik. Menurut Rusmarkam dan Yowono (2002) pupuk
kandang sebagai salah satu sumber bahan organik dapat memperbaiki
struktur tanah, meningkatkan daya menahan air, meningkatkan kapasitas
tukar kation, memperbaiki kehidupan biologi tanah, dan juga meningkatkan
daya sangga tanah. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa pupuk
kandang juga memiliki sifat yang kurang baik, antara lain memiliki rasio
C/N tinggi dalam keadaan basah/mentah. Oleh karenanya, disarankan tidak
memberi pupuk kandang dalam keadaan masih mentah pada lahan sawah. Jika
pun diberikan mentah hendaknya jauh hari sebelum penanam padi
dilakukan.
Yang tidak kalah kelirunya juga ada pada pengendalian hama dan penyakit
padi. Menyemprotkan pestisida, terutama insektisida seperti sudah
merupakan keharusan pada pertanaman padinya. Ada tidaknya hama dan
penyakit di pertanaman padi di sawah tidak menjadi soal yang penting.
Akibatnya, residu pestisida di sawah terus terakumulasi. Tidak hanya
mencemari tanah sawah saja, air dan sumber air pun ikut tercemar. Banyak
mikroorganisme dan makroorganisme yang berguna ikut mati terbunuh oleh
pestisida, sehingga kesehatan tanah sawah terus menurun dari tahun ke
tahun. Menurut Supardi (2003) pestisida seperti DDT, aldrin, endrin, dan
fosfor organik bila mencemari tanah pertanian akan merugikan sebab
senyawa tersebut dapat membunuh mikroorganisme yang sangat penting bagi
tanah untuk proses dekomposisi dan sintesis senyawa organik dan
anorganik. Bila penggunaannya tidak terkontrol, insektisida bisa juga
menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti air minum, merugikan
kesehatan, dan juga mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap senyawa
tersebut. Selain itu, insektisida ada juga yang bersifat karsinogenik,
yaitu senyawa yang bisa menimbulkan terjadinya kanker dan tumor ganas.
Sebenarnya, daftar keliru dari prilaku petani masih bisa ditambah lagi.
Namun, kita cukupkan dulu di sini. Barangkali lebih baik bagi kita untuk
mencoba mengambil pelajaran daripadanya. Kita berharap apa yang penulis
paparkan di atas hanyalah sekadar akibat ketidaktahuan atau
kekurangpahaman para petani saja, bukan merupakan bagian dari budaya
bangsa kita. Mengapa demikian, karena menurut Ashley Montagu dalam
Suriasumantri (1999), kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap
kebutuhan dasar hidupnya. Bisa dibayangkan betapa buruknya rupa
masyarakat petani padi kita, bila kebutuhan dasarnya banyak yang keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar