Pemanasan
global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan
bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim,
punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi
fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas
sosial-ekonomi masyarakat meliputi :
(a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai,
(b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara
(c) gangguan terhadap permukiman penduduk
(d) pengurangan produktivitas lahan pertanian
(e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb).
(b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara
(c) gangguan terhadap permukiman penduduk
(d) pengurangan produktivitas lahan pertanian
(e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb).
dampak pemanasan global, yakni :
Kebakaran hutan besar-besaran
Bukan
hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat juga ikut
terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini, kebakaran hutan
meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga.
Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang
kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih
awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering
dari biasanya dan lebih mudah terbakar.
Ketinggian gunung berkurang
Tanpa
disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami penyusutan
ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya es di puncaknya. Selama ratusan
tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat
tekanannya. Saat lapisan es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan
perlahan terangkat kembali.
Keganjilan di Daerah Kutub
Hilangnya
125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam memunculkan ide bahwa
pemanasan global terjadi lebih “heboh” di daerah kutub. Riset di
sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan
mencairnya bagian beku dasar bumi.
Habitat Makhluk Hidup Pindah ke Dataran Lebih Tinggi
Sejak
awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi demi menemukan
tupai, berang-berang atau tikus hutan. Ilmuwan menemukan bahwa
hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan
global. Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga,
sebab es tempat dimana mereka tinggal juga mencair.
Peningkatan Kasus Alergi
Sering
mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di matasaat musim semi,
maka salahkanlah pemanasan global. Beberapa dekade terakhir kasus
alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan. Pola
hidupdan polusi dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan
bahwa tingginya level karbondioksida dan temperatur belakangan inilah
pemicunya. Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan
memproduksi lebih banyak serbuk sari.
Kenaikan Air Laut
Kenaikan
muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut :
(a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus
laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut,
(d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan
(e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya
frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan
yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat
tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya
efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas
banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan
Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2
juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan
memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta
peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu
yang bersamaan.
Kenaikan
muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah
pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat
ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove
di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun
menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha
(1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan
hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan
mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan
kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari
sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan
zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Bagi
Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah
dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat
kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The
Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan
bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta
hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El
Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni
antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak
diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang
berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan
hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir ,
serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Suhu
rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C
(1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia”
Beberapa
hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana
pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan
bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih
terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada,
tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi
terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan
negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol
Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Tidak
semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global.
Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar
meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi
tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat
prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga
dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia
terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat
juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa
pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para
ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan
tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan
global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama,
pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad
ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun
1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh
dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer
terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung
adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan
tersebut.
Kurangnya
pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara
yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer.
Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian
sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan
akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol
terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan
pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang
diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para
ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya.
Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang suhu air yang diukur oleh
para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil
pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu
laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3
derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada
sedikit perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan
ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan
di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus,
pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari
permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah
panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas
masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat
diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari
prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi
total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.
Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini
tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan
yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah
ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat,
dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor
(jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan
ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah
sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat
semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida
dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen
karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar