Rabu, 19 Juni 2013

Paradigma Keliru Pengelolaan Pertanian Indonesia

Apakah didalam pelajaran anak-anak sekolah dasar masih menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negeri agraris? Saya rasa penulis akan malu, karena sulit memberi contoh dan bukti-buktinya. Bagaimana jika disebut sebagai negara importir? Pengelola negeri ini juga seharusnya malu, karena seolah tidak mampu mempertahankan atau memperbaiki kondisi pertanian Indonesia semakin terpuruk.
Mulai dari komoditas pangan, beras dan kedelai. Bahkan daging sapi saja kita import tak ada hentinya. Kondisi terkini adalah hilangnya bawang merah dan bawang putih di pasaran ditengarai karena terhambatnya rantai import. Seolah negara kita ini kaya raya, semua orang mampu membeli apapun yang diimport. Padahal sebagian besar diantaranya bisa diproduksi di negeri sendiri. Kenapa seolah pasrah, atau justru kesengajaan? Lalu siapa yang diuntungkan dengan kondisi ini?
Kecukupan kebutuhan bawang putih di Indonesia dari produksi dalam negeri hanya berkisar 10%. Lahan yang begitu luas dan memiliki kesesuaian lahan untuk komoditi ini tidak dioptimalisasi dengan baik dan tidak mendapat dukungan pemerintah. Sejatinya bukan hanya komoditas bawang merah. Kondisi pengembangan komoditi lain juga tidak mendapakan perhatian yang serius. Lalu sampai kapan pemerintah membiarkan petani melakukannya sendiri? Walau dengan prasarana dan sarana yang serba terbatas, petani tetap saja melakukan aktivitasnya. Penguatan kapasitas petani hanya melalui proyek-proyek pelatihan jangka pendek. Pembiayaan yang diperlukan petani entah diserap oleh siapa dan kemana? Seolah pemerintah tidak memiliki perencanaan jangka panjang untuk sektor pertanian.
Jika kondisi pasokan komoditi tidak mencukupi, pemerintah dengan mudahnya melakukan impor untuk menutupi kekurangan pasokan. Para ahli sebenarnya sudah punya prediksi akan terjadinya kekurangan pasokan terhadap komoditas ini dalam bulan-bulan tertentu. Tetapi informasi ini nampaknya hanya tertumpuk di meja setelah rapat dan seminar diberbagai tempat. Informasi ini tidak pernah dibahas bersama dengan petani sebagai pelaksana langsung dilapangan. Perjalanan dinas turun ke desa hanya sebatas seremoni yang tidak memiliki langkah strategis.
Apa yang terjadi seandainya petani tahu kalau harga bawang bisa mencapai harga diatas Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu? Tentu mereka akan bersemangat untuk menanam walau tantangan cukup berat. Budaya, iklim, musim dan lain-lain. Walau sesungguhnya petani adalah pejuang yang hebat. Namun hal ini sudah terjadi. Kreativitas pemerintah hanya sebatas mengamankan kebutuhan bawang dengan cara impor. Nanti saat panen raya bawang terjadi apa yang terjadi? Jika pemerintah peduli dengan pembangunan di sektor pertanian barangkali sudah menyiapkan strategi guna melindungi petani agar memperoleh harga yang layak dari jerih payahnya.
Mulai serius dan bersyukur atas nikmat kekayaan alam Indonesia dengan cara melakukan pembangunan di sektor pertanian dan mengembalikan kemandirian bangsa melalui sektor pertanian. Ingat bahwa nikmat kekayaan ini adalah titipan yang harus dijaga dengan amanah dalam pengelolaannya. Mari berkomitmen membangun pertanian Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar