Senin, 17 Juni 2013

Filsafat Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Orang bijak sering berujar, tirulah ilmu padi. Kian berisi, kian merunduk. Maksud dari pesan bijak itu adalah jika kita memiliki ilmu janganlah sombong, tetapi sebaliknya hendaklah semakin bijaksana. Semakin banyak pengetahuan dan ilmu yang kita miliki hendaknya semakin arif dan bijak pula kita. Demikianlah pesan tadi yang mengandung makna filsafat yang mendalam.
Mengapa pesan tersebut dikatakan mengandung nilai filsafat? Kata filsafat sendiri berarti cinta terhadap kebijaksanaan ataupun cinta akan kearifan. Menurut Bakhtiar (2011) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophy, yang terdiri dari dua kata: philos dan sophos. Philos berarti cinta dan sophos berarti hikmah atau bijaksana. Dengan demikian, secara harfiah filsafat bermakna cinta bijaksana. Namun, secara lebih luas, filsafat didefinisikan sebagai berpikir secara menyeluruh, mendalam, logis, sistematis, tapi juga spekulatif mengenai hakikat segala sesuatu untuk mencari kebenaran.
Bila diresapi dengan mendalam, maka betapa filsafat mengandung nilai yang sangat luhur dan sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia. Sebenarnya filsafat sudah banyak berperan dalam kehidupan manusia sejak berabad-abad lalu. Dulu orang percaya pada dewa-dewa penyebab bencana, seperti dewa banjir, dewa gempa, dan dewa-dewa lainnya yang sangat menakutkan. Setelah belajar filsafat kemudian orang tidak takut lagi pada dewa-dewa tersebut, karena sesungguhnya fenomena alam tidak terkait sama sekali dengan dewa. Namun, kini filsafat dirasakan lebih dibutuhkan lagi daripada di masa lalu. Saat ini kebutuhan manusia lebih banyak dan lebih beragam, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia memerlukan lebih banyak ilmu dan pengetahuan dibanding dahulu kala.
Terkait dengan perannya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Suriasumantri (1999) menyatakan bahwa filsafat adalah pionir dan peneretas pengetahuan. Meminjam pendapat Will Durant, beliau menyatakan bahwa filsafat dapat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan ilmuwan. Sebab setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa filsafat juga berperan sebagai pengawal ilmu dan pengetahuan.
Tanpa dikawal filsafat, selain berguna, ilmu dapat juga menyebabkan bencana dan membawa malapetaka bagi manusia. Banyak contoh sudah terjadi. Bom atom yang dikembangkan atas dasar ilmu telah menjadi monster pembunuh pada perang dunia II. Reaktor nuklir juga tidak sedikit menelan korban. Akhir-akhir ini ada upaya untuk mengkloning manusia, yang bila tidak dikawal oleh pikiran jernih dari kearifan filsafat juga akan membawa bencana bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Bakhtiar (2011) menyatakan bahwa ilmu tanpa pengawalan filsafat dapat membawa ilmu tersebut kepada tujuan yang tidak bermanfaat bagi manusia, bahkan bencana.
Bagaimana filsafat mengawal ilmu? tentunya dengan filsafat ilmu. Menurut Bakhtiar (2011) filsafat ilmu adalah kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu. Dasar-dasar ilmu yang dimaksud terdiri dari 1) objek yang ditelaah, 2) metode mendapatkannya, dan 3 tujuannya. Ketiga objek ilmu tersebut dikaji dengan proses berpikir yang mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran. Ilmu dan bagian-bagiannya barulah dapat dikatakan benar bila memenuhi tolok ukur kebenaran. Dalam filsafat, ada tiga tolok ukur kebenaran yang bisa dipakai. Pertama, sesuatu itu dapat dikatakan benar bila subjek dan objeknya berkorespondensi (selaras). Kedua, sesuatu itu benar, bila sesuatu itu konsisten (sesuai) dengan yang sebelumnya yang dianggap benar. Ketiga, sesuatu itu benar, bila sesuatu itu bermanfaat bagi manusia.
Secara filsafat, tiga tolok ukur kebenaran ini secara bersama atau sendiri-sendiri dapat digunakan sebagai acuan untuk mencari kebenaran. Tulisan ini mencoba melihat kebenaran pada praktek agronomi penanaman padi oleh para petani. Kebenaran, sebagaimana dijelaskan di atas, bisa dilihat dari tolok ukur kebenaran secara langsung, tetapi juga dapat didekati secara tak langsung dari posisi yang berlawanan, yaitu ketidakbenaran. Dengan kata lain, kita dapat mencari kebenaran dengan melihat sesuatu dari sisi ketidakbenarannya. Oleh karena itu, selanjutnya, ketidakbenaran anggapan dan prilaku akan sering dipakai dalam sajian tentang filsafat bertanam padi nantinya. Pertama sekali, marilah kita lihat terlebih dahulu apa itu padi.
Padi adalah tanaman yang termasuk dalam jenis rumput-rumputan. Akarnya termasuk akar serabut. Batangnya berbuku-buku dan di dalamnya kosong seperti pipet yang digunakan untuk pertukaran gas. Daunnya seperti pita. Bunga jantan dan betina ada dalam satu bunga yang terletak pada malai, yang kemudian menjadi gabah. Ada banyak varietas padi yang ditanam oleh para petani. Ada banyak ragam teknik agronomi yang dipakai serta ada banyak juga ragam pandangan dan anggapan menyangkut dengan padi. Sesuai judul di atas mari kita lihat tanaman ini dari sisi pandang filsafat bertanam padi.
Filsafat bertanam padi yang dimaksud di sini adalah filsafat yang berkenaan dengan cara bercocok tanam padi. Karena filsafat mengandung arti bijak, maka secara sederhana, filsafat bertanam padi adalah penerapan cara bertanam padi secara bijak atau arif; Atau dengan sedikit pengertian filsafat yang lebih luas, adalah bertaman padi secara benar dan bermanfaat. Pertanyaannya apakah sekarang ini para petani kita telah bijak dalam bertanam padinya. Jawabannya bisa beragam, bisa bijak, tidak bijak, belum bijak, atau sudah tidak bijak lagi.
Kalau jawabannya yang terakhir kita ambil maka itu bermakna dulu pernah bijak, tetapi sekarang tidak bijak lagi. Kalau jawabannya belum bijak, maka itu artinya mereka belum tahu bagaimana yang bijak sehingga ada harapan mereka akan jadi bijak manakala mereka sudah diberi tahu bagaimana yang bijak. Yang manapun jawabannya, kita perlu memberi tahu kepada para petani bagaimana seharusnya bertanam padi yang bijak, yang secara filosofi adalah juga benar.
Sesungguhnya petani padi memiliki banyak sekali pengetahuan tentang tanaman padi dan sawahnya. Pengetahuan tersebut diperolehnya dari berbagai sumber. Ada dari penyuluh, orang tua atau kerabatnya, baik secara turun temurun ataupun in situ di tempat dia bertanam. Menurut Suriasumantri (1999) dan Bakhtiar (2011) sumber pengetahuan dapat berasal dari rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Sebagian pengetahuan yang mereka miliki adalah benar dan berguna bagi pertumbuhan dan produksi pertanamannya, namun sering juga tidak rasional, bahkan ada juga yang keliru sehingga merugikan pertanaman dan dirinya sendiri.
Penulis mencoba mengangkat beberapa anggapan dan prilaku petani padi yang keliru. Secara filsafat, praktek ini dapat dikatakan tidak benar dan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi petani, bahkan cenderung merugikan. Ada selusinan atau bahkan lebih kekeliruan yang terus dipraktekkan para petani di tanah sawahnya.
Kesalahan pertama adalah anggapan bahwa varietas padi baru tidak bagus dan tidak cocok. Akibatnya, para petani enggan menanam varietas padi baru. Anggapan ini penulis dengar sendiri ketika bertugas di Nias, tahun 2006 setelah kejadian gempa dan tsunami 2004. Ketika itu, penulis bersama petugas lainnya, berusaha memperkenalkan varietas Ciherang, karena dari kajian ditemukan bahwa varietas ini sangat menjanjikan. Kemudian memang terbukti bahwa varietas ini dominan ditanam di Indonesia dan memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas sebelumnya (BBPTP, 2005).
Bertolak belakang dengan pendapat di atas, banyak juga petani kita berpandangan bahwa varietas lama (varietas asli daerah) tidak perlu dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya. Pandangan ini memang jarang disampaikan dalam bentuk lisan, tetapi indikasinya bisa ditangkap dari kenyataan di lapangan. Sekarang ini, hampir tidak ada lagi petani padi yang menanam varietas asli daerah, kecuali sedikit sekali. Di tempat kelahiran penulis, Kuala Simpang, Aceh Tamiang, varietas asli sudah sangat sulit ditemukan, kalau tidak mau mengatakan sudah punah. Masih teringat, dulu ada yang namanya varietas Si Raup, Si Kuning, Si Kruing, dan Si Pahit. Lalu, apa gunanya varietas ini dilestarikan? Jawabannya adalah sebagai sumber plasma nutfah atau sebagai sumber keragaman genetik untuk keperluan pemuliaan tanaman, khususnya padi. Sebagai contoh pada pemuliaan padi tahan kekeringan, Blum (2011) menyarankan bahwa di antara sumber plasma nutfah yang tersedia, agar plasma nutfah dari tanaman budidaya dijadikan pilihan pertama sebagai sumber genetik. Karena menurut beliau, di dalam plasma nutfah tanaman budidaya, terkandung beragam gen laten yang berguna untuk program pemuliaan tanaman, termasuk tahan kekeringan. Dari segi pemuliaan, penggunaan sumber gen yang berkerabat dekat lebih memungkinkan untuk berhasil dibanding bila menggunakan sumber yang sangat asing.
Dari segi agronomi, pandangan keliru lainnya adalah banyak tanaman, banyak hasil. Ini mungkin mirip dengan pandang “banyak anak, banyak rezeki”. Implikasi buruk dari pandangan ini adalah petani menanam padi dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah lagi sangat banyak tanaman dalam satu lubang tanam. Sebagai ilustrasi, ada petani yang menanam padi dengan jarak 10 cm x 10 cm dan dalam satu lubang tanam berisi 6 tanaman. Bila dihitung, maka satu hektar sawah berisi 6 juta batang padi, yang juga berasal dari 6 juta butir benih padi. Jumlah ini sebanding dengan 150 kg benih padi dengan asumsi 1000 butir padi sama dengan 25 g. Padahal, secara agronomi, padi dapat ditanam dengan jarak 25 cm x 25 cm (Thakur, 2010) atau serapat-rapatnya 20 cm x 20 cm dan dalam satu lubang cukup satu tanaman saja, sebagaimana pada metode SRI (Thakur et al. 2010). Dengan cara ini, maka satu hektar hanya berisi 160 ribu atau 250 ribu batang saja, yang bila dikonversi ke biji menjadi setara 4,0 kg atau 6,25 kg benih saja. Coba lihat betapa tidak efisiennya petani kita yang menabur benih padi sebanyak 150 kg dari yang seharusnya cukup 4 – 6,25 kg saja untuk satu hektar sawah. Ini baru dilihat dari kebutuhan benih, belum lagi dari segi tenaga kerja dan waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis sama sekali.
Anggapan lain yang sama buruknya adalah semakin banyak air yang diberikan, semakin banyak hasil padi. Akibatnya, pemakaian air sangat boros per satuan luas sawah, berikutnya jumlah sawah yang dapat diairi menjadi lebih sempit dari yang seharusnya. Padahal, sebenarnya padi bukanlah murni tanaman air, karena kenyataannya padi memang dapat juga hidup dan berproduksi tinggi pada lahan darat. Dengan demikian, air bukanlah faktor mutlak melainkan sebagai faktor pendukung. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan tanah sawah tempat padi di tanam lebih baik bila tidak digenangi terus menerus (Hanafiah et al., 2009). Dengan demikian, sebenarnya padi tidak memerlukan terlalu banyak air seperti yang disangkakan dan justru akan lebih produktif bila air diberikan secara macak dan terputus-putus. Menurut Prisilla et al. (2012), pemberian air irigasi dengan debit yang berubah-ubah sangat penting bukan saja untuk perbaikan sistem irigasi, tetapi juga untuk melindungi sumber air bagi masa depan.
Pemikiran buruk lainnya adalah banyak pupuk, banyak hasil. Pemeo ini sebenarnya tidak produktif dan bahkan sangat merusak lingkungan. Petani kita kadang-kadang sudah keterlaluan dalam menggunakan pupuk, terutama pupuk anorganik. Penulis sendiri pernah menyaksikan sendiri bagaimana mereka memberikan pupuk pada lahan sawahnya, karena tempat tinggal penulis berkebetulan dekat dengan persawahan. Barangkali petani tidak pernah menghitung pemakaian pupuknya, tetapi bila kita hitung, bisa jadi pupuk yang digunakan bisa mencapai dua kali lipat dari yang dianjurkan. Bisa jadi pula dosis anjuran pun sudah terlalu banyak, karena belum ada kajian yang mendalam sebenarnya berapa dosis yang aman untuk produktivitas padi sekaligus kesehatan tanah sawah untuk mendukung perpadian dan persawahan yang berkelanjutan. Menurut Cummings dan Orr (2010) kendatipun aplikasi pupuk N anorganik telah memberikan keuntungan yang nyata pada produksi pangan dan ketahanan pangan dunia dalam jangka pendek, namun ada keprihatinan yang meluas terhadap keberlanjutan penggunaan teknologi ini untuk jangka panjang agar dapat terus memberi makan seluruh populasi dunia yang terus meningkat. Penggunaan pupuk N anorganik secara terus menerus akan menyebabkan perusakan tanah pertanian, antara lain sebagai akibat dari hilangnya bahan organik, pemadatan tanah, peningkatan salinitas, dan pencucian nitrat anorganik.
Bahan organik tidak berfaedah adalah kesalahan lain. Sumber bahan organik tidak dimanfaatkan. Jerami padi tidak dikembalikan ke sawah, melainkan diangkut bersama malai yang dipanen, bahkan sebagiannya lagi dibakar. Barangkali ada kemalasan ikut terlibat di sini. Pernah suatu ketika, penulis berdialog dengan seorang petani padi tentang pemanfaatan jerami sebagai sumber pupuk organik untuk pertanaman padinya. Pertanyaan penulis adalah mengapa petani selalu membakar jerami setelah panen berakhir. Jawabannya cukup sederhana, karena jerami-jerami itu mengganggu jalannya traktor mesin pengolah lahan nantinya. Sebagai catatan, petani memang selalu menumpuk jerami padi di pematang atau di tengah sawah. Tumpukan itulah yang dimaksud mengganggu tadi dan dengan membakarnya tumpukan tersebut langsung hilang dalam semalam. Padahal dengan sedikit rajin, penyerakan jerami ke permukaan lahan sawah dapat juga segera menghilangkan tumpukan yang mengganggu tadi, tanpa harus membakarnya. Membakar jerami sama artinya menghilangkan sumber bahan organik dan yang tersisa hanya abu dengan sedikit bahan mineral. Menyerakkan jerami sama artinya dengan memberikan sumber bahan organik ke dalam tanah, yang sangat berarti bagi kesuburan dan kesehatan tanah, berikut tanaman yang tumbuh di atasnya. Lalu, apa gunanya bahan organik pada tanah?. Funderbug (2001) menyatakan bahwa bahan organik berguna sebagai suplai unsur hara, kapasitas menahan air, agregasi struktrur tanah, dan pencegah erosi. Lebih jauh lagi, sebenarnya bahan organik dalam tanah bisa berfungsi seperti magis, mediator, atau penyangga dari kondisi ekstrem di dalam tanah. Menurut CSIRO (2011) bahan organik merupakan indikator kunci akan kesehatan tanah dan memainkan peran penting pada sejumlah fungsi, seperti biologi, kimia, dan fisik.
Lain jerami, lain lagi pupuk kandang. Bagi sebagian petani padi, pupuk kandang menjadi pantang diberikan pada sawah. Ada anggapan, pupuk kandang yang berupa kotoran ternak merupakan sumber penyakit bagi tanaman padinya. Kesalahan persepsi ini bisa jadi disebabkan oleh salah tindak pada pupuk ini. Waktu pemberian yang tidak tepat mungkin saja penyebab utamanya atau ada pengalaman buruk lain bersama dengan penggunaan pupuk ini. Akibatnya jarang sekali petani padi memupuk tanamannya dengan pupuk kandang. Sebenarnya, pupuk kandang sangat baik diberikan kepada tanaman padi dan kebaikannya sama seperti pada tanaman lainnya. Pupuk kandang banyak mengandung bahan organik, mikroorganisme, dan juga bahan anorganik. Menurut Rusmarkam dan Yowono (2002) pupuk kandang sebagai salah satu sumber bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya menahan air, meningkatkan kapasitas tukar kation, memperbaiki kehidupan biologi tanah, dan juga meningkatkan daya sangga tanah. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa pupuk kandang juga memiliki sifat yang kurang baik, antara lain memiliki rasio C/N tinggi dalam keadaan basah/mentah. Oleh karenanya, disarankan tidak memberi pupuk kandang dalam keadaan masih mentah pada lahan sawah. Jika pun diberikan mentah hendaknya jauh hari sebelum penanam padi dilakukan.
Yang tidak kalah kelirunya juga ada pada pengendalian hama dan penyakit padi. Menyemprotkan pestisida, terutama insektisida seperti sudah merupakan keharusan pada pertanaman padinya. Ada tidaknya hama dan penyakit di pertanaman padi di sawah tidak menjadi soal yang penting. Akibatnya, residu pestisida di sawah terus terakumulasi. Tidak hanya mencemari tanah sawah saja, air dan sumber air pun ikut tercemar. Banyak mikroorganisme dan makroorganisme yang berguna ikut mati terbunuh oleh pestisida, sehingga kesehatan tanah sawah terus menurun dari tahun ke tahun. Menurut Supardi (2003) pestisida seperti DDT, aldrin, endrin, dan fosfor organik bila mencemari tanah pertanian akan merugikan sebab senyawa tersebut dapat membunuh mikroorganisme yang sangat penting bagi tanah untuk proses dekomposisi dan sintesis senyawa organik dan anorganik. Bila penggunaannya tidak terkontrol, insektisida bisa juga menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti air minum, merugikan kesehatan, dan juga mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap senyawa tersebut. Selain itu, insektisida ada juga yang bersifat karsinogenik, yaitu senyawa yang bisa menimbulkan terjadinya kanker dan tumor ganas.
Sebenarnya, daftar keliru dari prilaku petani masih bisa ditambah lagi. Namun, kita cukupkan dulu di sini. Barangkali lebih baik bagi kita untuk mencoba mengambil pelajaran daripadanya. Kita berharap apa yang penulis paparkan di atas hanyalah sekadar akibat ketidaktahuan atau kekurangpahaman para petani saja, bukan merupakan bagian dari budaya bangsa kita. Mengapa demikian, karena menurut Ashley Montagu dalam Suriasumantri (1999), kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Bisa dibayangkan betapa buruknya rupa masyarakat petani padi kita, bila kebutuhan dasarnya banyak yang keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar